BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis menciptakan
persaingan yang semakin ketat di segala bidang. Hal tersebut menuntut manusia
untuk mampu beradaptasi dengan keadaan persaingan tersebut. Dengan demikian peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) perlu dilakukan, salah
satu upaya dalam meningkatkan kualitas SDM yang memiliki kompetensi
dan profesionalisme adalah melalui pendidikan.
Kegiatan yang dilaksanakan di bidang konsentrasi Agribisnis
Sutera Alam adalah pemeliharaan ulat sutera. Menurut data persuteraan alam nasional ketersediaan
kokon nasional sebagai bahan baku pembuatan benang hanya mampu memenuhi 5% dari
total permintaan, itupun kualitas kokon yang ada masih rendah.
Adapun alasan lain yang mendorong
untuk melakukan kegiatan pemeliharaan
ulat sutera adalah sebagai berikut :
a)
Bahan
baku industri
benang sutera berupa kokon masih belum terpenuhi di Cianjur, sehingga memiliki
peluang yang sangat baik untuk di
tingkatkan.
b)
Proses
produksi yang cukup sederhana, karena tidak memerlukan peralatan serta mesin
yang terlalu canggih sehingga dapat dilakukan dalam skala kecil.
c)
Pelaksanaannya
didukung dengan ilmu yang senantiasa dipelajari dibangku perkuliahan.
d)
Keberadaan
produksi kokon dapat meningkatkan produktivitas industri hilir.
Untuk
mendukung produksi yang optimal tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi produksi kokon ulat sutera adalah
bagaimana persiapan pakan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ulat sehingga
dapat mendukung dalam pemeliharaan ulat sutera.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari
kegiatan produksi kokon yaitu menghasilkan kokon yang berkualitas sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI)
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah melakukan
praktek serikultur ini mahasiswa dapat :
·
Melakukan
persiapan pakan ulat sutera.
·
Melakukan
desinfeksi ruangan dan peralatan pemeliharaan ulat sutera.
·
Melakukan
inkubasi telur ulat sutera.
·
Melakukan
pemeliharaan ulat sutera kecil.
·
Melakukan
pemeliharaan ulat sutera besar.
·
Melakukan
pengokonkan ulat sutera.
·
Melakukan
panen kokon ulat sutera.
1.3 Manfaat
·
Menambah
wawasan dan pengalaman dalam melakukan
teknis budidaya ulat sutera.
·
Mahasiswa
menjadi lebih terlatih dalam memelihara ulat sutera.
·
Memberikan
kesempatan untuk mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika
Ulat Sutera
Soekiman Atmosoedardjo (2000), menuliskan sistematika ulat sutera sabagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthopoda
Kelas : Insekta
Ordo :
Lepidoptera
Famili : Bombycidae
Genus : Bombyx
Spesies : Bombyx mori L.
2.2. Proses
Pemeliharaan
Nanang
Ahdiat (2010), menuliskan untuk mendapatkan ulat sutera sehat harus diberi pakan yang berkualitas, baik ulat sutera kecil
maupun pada ulat sutera besar. Dalam rangka penyediaan pakan yang berkualitas,
harus diperhatikan teknik pembuatan kebun. Daun yang diberikan pada ulat sutera
tentu berbeda antara ulat sutera kecil dan ulat sutera besar. Ulat sutera kecil
memerlukan daun lunak yang tumbuh dari ujung cabang. Sementara itu, untuk ulat
sutera besar semua daun dapat diberikan, asalkan masih segar. Untuk mencukupi
kebutuhan tersebut, baik kualitas maupun kuantitasnya perlu dilakukan
pengaturan pemangkasan. Persiapan daun untuk ulat sutera kecil, yaitu tanaman
murbei dipangkas 30 hari sebelum pemeliharaan ulat. Sementara itu, untuk ulat sutera besar
tanaman murbei dipangkas 2-3 bulan sebelum pemeliharaan ulat.
Nanang Ahdiat (2010),menuliskan bahwa dalam tindakan pencegahan timbulnya
penyakit yang harus dilakukan adalah pembersihan dan desinfeksi lingkungan,
peralatan dan ruangan pemeliharaan. Desinfeksi dapat dilakukan dengan
penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin atau kaporit.
Keperluan larutan formalin untuk desinfeksi adalah 1 liter per m2 basahnya
cukup merata dan mampu membasahi ruangan selama 6 jam. Semua pintu dan jendela ditutup rapat
sekurang-kurangnya selama 24 jam.
Inkubasi yaitu penyimpanan telur untuk penetasan di dalam ruangan yang temperatur,
kelembaban, dan cahayanya dapat diatur agar telur ulat sutera dapat menetas
dengan baik dan merata. Kebutuhan temperatur selama inkubasi adalah 250C
dan kelembaban 75%-80%, dengan pengaturan cahaya 18 jam terang dan 6 jam gelap
setiap harinya (Nanang Ahdiat, 2010).
Soekiman Atmosoedardjo (2000), menuliskan suhu dan kelembaban dalam ruang
pemeliharaan perlu disesuaikan untuk mempertahankan suhu antara 270C-280C
dan kelembaban 90%, sebelum pemeliharaan dimulai. Kondisi ini pelu
dipertahankan selama instar I. Pada instar II suhu harus ada pada kisaran
260C-270C dan kelembaban 85%, sedangkan pada instar III
suhu yang diharapkan adalah 250C dan kelembaban 80%. Akan tetapi,
pada waktu berganti kulit pada setiap instar, kelembaban tempat pemeliharaan perlu
diturunkan sampai 70% untuk mengeringkan tempat pemeliharaan.
Pemeliharaan ulat besar dilaksanakan pada instar IV dan instar V. Kedua
instar ini secara fisiologi sangat berbeda satu sama lainnya. Instar IV lebih
dekat pada ulat sutera kecil, maka pemeliharaan dititik beratkan pada menjaga
lingkungan yang bebas penyakit, suhu dan kelembaban yang sesuai, pemberian
pakan. Pada instar V merupakan fase terpenting pemeliharaan ulat sutera, karena
pada fase ini pertumbuhan kelenjar sutera berjalan cepat. Keperluan daun murbei
untuk pakan hampir 90% dihabiskan pada instar V, sehingga daun murbei harus
dimanfaatkan seefisien mungkin. (Nanang Ahdiat, 2010).
Pemeliharaan ulat
sutera besar dapat dilakukan di bangunan khusus, yang tata letak ruangannya
diatur sedemikian rupa. Bangunan pemeliharaan pada dasarnya harus mempunyai 3
ruangan yang masing-masing berbeda kegunaannya. Ruang tersebut adalah ruang
pemeliharaan, ruang penyimpanan daun murbei, dan ruang penyimpanan peralatan
pengokonan. Ruang penyimpanan daun harus terlindung dari angin dan panas
matahari serta terpisah dari ruang penyimpanan peralatan pengokonan. Sifat ulat
sutera besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar menghendaki suhu dan
kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur pada 230C– 240
C dan kelembaban 75%.
Sebelum pemeliharaan ulat besar, seperti halnya pada pemeliharaan ulat
kecil perlu dilakukan pembersihan dan desinfeksi ruang dan peralatan yang akan
dipakai. Cara pelaksanaan pembersihan dan desinfeksi sama seperti pada
pemeliharaan ulat kecil. Desinfeksi dilakukan paling lambat 2 hari sebelum
pemeliharaan ulat besar dimulai. Di samping itu juga harus selalu tersedia
larutan desinfeksi untuk kaki dan tangan. Cara disinfeksi sama seperti pada
desinfeksi ulat kecil. Peralatan dan bahan-bahan yang penting dalam
pemeliharaan ulat besar adalah rak pemeliharaan, gunting stek, golok, sasag,
lembaran plastik, ember, jolang, kain blacu, jaring, alat pengokonan, kapur,
kaporit dan formalin.
Nanang Ahdiat (2010), menuliskan pengokonan terjadi pada
ulat sutera diakhir instar ke-5, yaitu proses membungkus diri dengan serat yang
dikeluarkan dari mulutnya, sebelum berubah bentuk menjadi pupa. Kokon inilah
yang dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan baku benang, sehingga pengokonan harus
ditangani dengan benar, baik persiapan alat pengokonan maupun pelaksanaannya,
supaya menghasilkan kokon yang berkualitas baik.
Waktu panen kokon yang baik dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, udara pada
masa ulat sutera mulai mengokon. Bila suhu lingkungan berada diantara 240C-270C,
maka pada hari ke-6 dan ke-7 setelah mengokon merupakan waktu yang baik untuk
panen kokon. Akan tetapi harus dipastikan terlebih dulu bahwa pupa yang akan
dipanen telah terbentuk, badannya sudah menjadi cokelat dan kulitnya telah
cukup keras. Bila kokon dipanen pada saat kulit pupa masih lunak, maka kulitnya
dapat pecah dan cairan yang keluar dapat menimbulkan kokon kotor di dalam
(Soekiman Atmosoedardjo, 2000).
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Tempat dan Waktu
Kegiatan
Pemeliharaan Ulat Sutera dilakukan di Departemen Agribisnis Tanaman
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1.
Alat
2
Seriframe
3
Termometer
4
Baskom
5
Sapu
lidi
6
Sapu
ijuk
7
Pengki
8
Jaring
ulat kecil
9
Karung
10 Pisau rajang
|
11 Golok
12 Gunting stek
13 Keranjang panen
14 Timbangan
15 Sumpit
16 Bulu ayam
17 Saringan
18 Rak pemeliharaan
|
3.2.2.
Bahan
19 Telur ulat sutera
20 Pakan daun murbei
21 Kaporit
22 Kapur
23 Formalin
|
24 Kertas jagung
25 Koran
26 Kain hitam
27 Lap tangan
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Persiapan Pakan
Pakan dipersiapkan dengan cara memangkas tanaman murbei
dua bulan sebelum pemeliharaan berlangsung. Pangkasan untuk ulat kecil
dilakukan sebulan sebelum pemeliharaan, sedangkan untuk ulat besar 65-70 hari
sebelum pemeliharaan. Pangkasan ini bertujuan untuk memperbanyak produksi daun
murbei. Pemangkasan menggunakan alat potong yang tajam agar kulit batangnya
tidak terkelupas. Jika terkelupas akan menyebabkan timbulnya penyakit pada
tanaman murbei. Metode pangkasan yang dilakukan yaitu dengan cara memangkas
dengan tinggi pangkasan 5 cm di atas pangkasan sebelumnya. Untuk pakan ulat
kecil daun dipanen dengan cara dipipil. Adapun untuk ulat instar I (dari lembar
1 s.d. lembar 5 dari pucuk), instar II (dari lembar 1 s.d. lembar 6-7 dari
pucuk), instar III (dari lembar 1 s.d. lembar 7-8 dari pucuk ). Daun untuk
pakan ulat besar diambil dengan batangnya menggunakan golok. Batang dipotong
dibagian bawah sebatas daun yang masih hijau segar. Daun dipanen pagi dan sore
hari sesuai kebutuhan. Daun yang tidak langsung diberikan pada ulat sutera
disimpan terpisah disusun secara berdiri, kemudian ditutup dengan kain basah.
Adapun pada saat
perhitungan kualitas daun murbei diperoleh hasil 456 gr/ pohon x 4.500 pohon = 2.052.000 atau 2 ton
lebih.
4.1.2 Desinfeksi
Desinfeksi dilakukan terhadap rumah pemeliharaan dan
peralatan. Desinfeksi rumah pemeliharaan dan peralatan dilakukan seminggu
sebelum pemeliharaan. Desinfeksi dilakukan
dengan menyemprotkan larutan kaporit dan formalin dengan konsentrasi
masing-masing 2% secara merata membasahi seluruh bagian ruangan.
Sebelumnya ruangan disapu terlebih dahulu agar bersih.
Untuk peralatan seperti lap, karung, jaring, keranjang, wadah, dan tempat daun
direndam selama 30 menit dengan larutan desinfektan, kemudian dikeringkan
dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Setelah desinfeksi selesai, semua
pintu dan jendela ditutup rapat selama 24 jam.
4.1.3 Inkubasi
Seminggu sebelum penetasan, telur diterima dari PPUS
Candiroto melalui jasa pengiriman elteha. Kemudian dilakukan penghitungan
secara sampel untuk mengetahui populasi satu boks telur. Data hasil
penghitungan adalah untuk telur kode C.301 sebanyak 29.451 butir. Inkubasi
dilakukan dengan cara menebar telur ke dalam kotak penetasan secara merata
kemudian disimpan di ruang penetasan dan diberi cahaya dengan pengaturan 18 jam
terang dan 6 jam gelap. Dua hari menjelang telur menetas, kotak penetasan dan
ruangan inkubasi dibuat gelap total dengan cara menutup kotak dengan kain hitam
dan menutup jendela. Di ruang inkubasi dipasang termometer dry wet untuk mengukur
suhu dan kelembaban. Pada pukul 05.00 pada hari penetasan, tutup kotak
penetasan dibuka dan diberi penerangan yang cukup agar telur yang belum menetas
terangsang untuk segera menetas. Pada saat praktek telur menetas lebih awal dua
hari dari waktu yang direncanakan sebelumnya yakni pada tanggal 2 Mei telur
sudah menetas sekitar 90%.
4.1.4 Pemeliharaan Ulat Kecil
Setelah penetasan, jumlah telur yang tidak menetas
dihitung secara sampel untuk mengetahui persentase penetasan. Pada ulat yang
baru menetas segera dilakukan hakitate. Hakitate adalah pekerjaan pengurusan
ulat pertama kali sejak menetas dari telur meliputi persiapan dalam ruangan dan
pemberian makanan. Hakitate dilakukan sekitar pukul 8-9 pagi. Setengah jam
sebelum diberi makan ulat ditaburi 5% kaporit, dsb. dengan dosis 1 gr/0,1 m2, tujuan untuk
mencegah serangan penyakit yang disebabkan jamur Aspergillus yaitu muskardin.
Kemudian taburkan daun murbei yang sudah dirajang berukuran 0,5 – 1,0 cm
(Atmosoedarjo, dkk, 2000).
Penanganan untuk ulat kecil yang baru menetas sebagai
berikut :
·
Ulat
ditaburi campuran kapur dan kaporit sebagai desinfeksi tubuh ulat.
·
Tiga
puluh menit kemudian, diatas ulat dipasang jaring lalu ditaburi rajangan halus
daun murbei dengan ukuran 0,5-1 cm sebagai pancingan agar ulat naik, sehingga,
memudahkan dalam pemindahan ke rak pemeliharaan. Lalu kotak penetasan
diletakkan di atas rak pemeliharaan yang sudah dialasi kertas parafin.
·
Tiga
puluh menit kemudian, jaring diangkat lalu dipindahkan ke rak pemeliharaan.
·
Setelah
itu ulat diberi makan dengan rajangan daun murbei sesuai kebutuhan lalu ditutup
dengan kertas parafin untuk mengurangi penguapan. Adapun banyaknya pemberian
pakan pada saat ulat kecil dapat dilihat pada lampiran 2.
Usia ulat kecil berlangsung selama sembilan hari. Suhu
dan kelembaban pada saat pemeliharaan yaitu 27-300C dan 84-92%.
4.1.5 Pemeliharaan Ulat Besar
Ulat besar yaitu ulat yang sudah memasuki instar IV dan
instar V, dimana ulat tersebut sudah mulai rakus makan. Ulat besar dipelihara
di tempat yang berbeda dengan ulat kecil. Pemeliharaan ulat besar dimulai di
hari pertama instar IV ketika bangun tidur.
Ulat sutera dipindah dari tempat pemeliharaan ulat kecil ke tempat
pemeliharaan ulat besar dengan cara menggulung alas pemeliharaan ulat kecil.
Setelah dipindah, kemudian tempat pemeliharaan dilebarkan sesuai dengan
pertumbuhan ulat. Perlakuan pertama adalah desinfeksi tubuh ulat dengan
campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 90 : 10. Campuran desinfektan
ditabur merata pada tempat pemeliharaan dengan menggunakan saringan. Sisa
makanan dan kotoran ulat pada tempat pemeliharaan dibersihkan dengan cara
memasang jaring.
Pemberian pakan untuk ulat besar pada pemeliharaan
diberikan daun murbei pipilan dan dengan batangnya.
Suhu pada saat pemeliharaan ulat besar yaitu antara 25-300C
dan kelembaban 68-92%.
Pengamatan terhadap hama
dan penyakit dilakukan selama pemeliharaan berlangsung. Hama
yang timbul selama pemeliharaan ulat besar adalah semut, cecak, dan kadal.
Pengendaliannya dilakukan dengan cara semua kaki rak diberi alas kaleng bekas
yang berisi air agar tidak ada hama
yang naik dan mengganggu ulat. Sedangkan penyakit yang menyerang ulat sutera
pada saat pemeliharaan ulat besar adalah Grasserie dan Muscardine.
Penanganannya dengan cara mengambil ulat yang sakit kemudian direndam dalam
larutan kaporit, selanjutnya ulat dikubur atau dibakar.
4.1.6 Pengokonan
Pengokonan
terjadi pada ulat sutera diakhir instar ke-V, yaitu proses membungkus diri
dengan serat yang dikeluarkan dari spineret. Adapun ciri - ciri ulat yang akan
mengokon sebagai berikut:
·
Tubuhnya
transfaran dan memendek
·
Nafsu
makan berkurang
·
Mulut
mengeluarkan serat
·
Cenderung
berjalan ke tepi
·
Kepalanya
diangkat-angkat seakan-akan mencari pegangan.
Metode pengokonan dilakukan dengan dua cara. Cara pertama
dengan mengambil ulat siap mengokon satu per satu kemudian dimasukkan ke tempat
pengokonan berupa seriframe. Metode ini dilakukan ketika ulat yang siap
mengokon baru mencapai 10%. Cara yang kedua yaitu dengan menyimpan seriframe di
atas ulat yang siap mengokon sehingga memudahkan ulat naik untuk mencari tempat
pengokonan. Apabila seriframe sudah dipenuhi ulat yang siap mengokon ( sekitar
200 ekor ), maka seriframe dipindah ke tempat lain. Untuk ulat yang belum siap
mengokon dikumpulkan di tempat yang lain kemudian diberi pakan sampai ulat siap
mengokon. Suhu pada saat pengokonan yaitu 25-270C dan kelembaban 69-92%.
4.1.7 Panen
Panen dilakukan delapan hari setelah ulat mengokon,
ketika kondisi pupa sudah mengeras dan berwarna coklat. Panen dilakukan secara
manual dengan alat sederhana dari bilah bambu yang dibuat bergerigi untuk
memudahkan dalam menarik kokon dari dalam seriframe. Sebelumnya ulat yang sakit
dan yang tidak mengokon secara sempurna dan kotor diambil agar tidak mengotori
kokon yang lalinnya. Setelah itu kokon diflossing, selanjutnya diseleksi antara
kokon baik dan kokon cacat. Untuk mengetahui bobot kokon yang dihasilkan
dilakukan penimbangan sedangkan untuk mengetahui kualitas kokon dilakukan
pengujian mutu. Adapun data panen dan pengujian mutu kokon:
·
Bruto
total 13,5 kg
·
Neto
total 9 kg
·
Bobot
neto per butir 1,73 gr ( grade B )
·
Presentase
kulit kokon 20,33% ( grade B )
·
Presentase
kokon cacat 27,7% ( grade D)
Kokon yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan cara
dijemur dibawah terik matahari.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Persiapan
pakan
Ulat sutera Bombyx mori L merupakan serangga yang
bersifat monofagus yaitu hanya memakan satu jenis tanaman yakni murbei. Daun
murbei merupakan satu-satunya pakan untuk ulat sutera jenis Bombyx mori
L. Oleh karena itu tanaman murbei harus dipersiapkan agar menghasilkan daun
yang berkualitas untuk pakan ulat. Daun murbei ini merupakan faktor pendukung
terpenting dalam pemeliharaan pesuteraan alam. Kesuksesan pemeliharaan
pesuteraan alam didukung oleh pakan sebesar 38,2%. Menurut Nanang Ahdiat
(2010), sebelum pemeliharaan pakan harus dipersiapkan 2-3 bulan. Hal itu
berkaitan dengan kandungan dan nutrisi yang dibutuhkan oleh ulat.
Ulat kecil lebih membutuhkan air dalam kadar tinggi
karena ketika menetas tubuhnya kekurangan air sehingga harus banyak
mengkonsumsi daun dengan kadar air yang tinggi dan itu diperoleh dari daun
murbei lembar 1 s.d. lembar 8 dengan usia pangkasan I bulan. Semua daun murbei
yang berusia 2-3 bulan bisa diberikan untuk ulat besar karena kandungan gizi
dan nutrisinya yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kelenjar sutera yang
banyak kecuali untuk pucuk dan daun yang menguning. Persiapan tersebut
dilakukan dengan memangkas daun murbei menggunakan golok. Menurut Suprio
Guntoro (1994), metode panen yang harus dilakukan pemangkasan jangan
menggunakan golok karena akan merusak atau memecahkan cabang-cabang murbei. Hal
ini tidak terlalu berpengaruh karena golok yang digunakan terbuat dari stainless
steel sehingga lebih memudahkan dalam panen.
4.2.2 Desinfeksi
Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan
produksi kokon yaitu teknik pemeliharaan sebesar 9,3 %. Salah satu bagian dari
teknik pemeliharaan yaitu desinfeksi. Menurut Nanang Ahdiat (2010), desinfeksi
dilakukan dengan membuat larutan kaporit dan formalin masing-masing 2% kemudian
menyemprotkan ke seluruh bagian kandang secara merata dengan keperluan larutan
1 liter per m2. Kandang dan peralatan harus didesinfeksi terlebih
dahulu karena diduga ada sisa-sisa bibit penyakit bekas pemeliharaan sebelumnya
ataupun terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia yang dapat menganggu perkembangan
kesehatan ulat sehingga berakibat ulat sakit, nafsu makan ulat menjadi
berkurang sehingga kelenjar sutera yang dihasilkan tidak maksimal dan akhirnya
akan berpengaruh terhadap hasil akhir yakni produksi kokon yang tidak maksimal.
4.2.3 Inkubasi
Ketika telur diterima harus segera dihitung jumlahnya
dengan cara mengambil sampel. Jumlah telur perlu diketahui untuk menghitung
pakan yang harus disiapkan. Kemudian telur
ditebar di kotak penetasan dengan tujuan supaya telur dapat berinteraksi
dengan udara secara sempurna. Persentase penetasan ulat mencapai 90%. Hal ini diduga terjadi karena suhu dan
kelembaban pada saat inkubasi terlalu tinggi yaitu 26-280C dan
84-92%, dibanding dengan suhu dan kelembaban ideal. Menurut Nanang Ahdiat
(2010) suhu dan kelembaban pada saat inkubasi yang ideal yaitu 250C
dan 75-80%. Selain itu dipengaruhi juga oleh kualitas telur yang diterima.
Pada saat inkubasi dilakukan pengaturan cahaya yaitu 18
jam terang 6 jam gelap sampai dua hari sebelum menetas. Pengaturan cahaya ini
dilakukan agar ulat sutera dapat menetas dengan baik dan merata. Menurut Suprio
Guntoro (1994), sekitar 2-3 hari sebelum menetas, biasanya akan terlihat titik
biru pada telur kemudian harus dilakukan penggelapan total. Hal ini dilakukan
agar terjadi keseragaman pada saat ulat menetas dan ulat yang sudah menetas
tidak kemana-mana. Tingkat penetasan ini berpengaruh terrhadap populasi ulat
yang akan dipelihara. Banyaknya jumlah ulat yang dipelihara harus disesuaikan
dengan lebarnya tempat pemeliharaan. Pelebaran tempat berpengaruh agar tidak
ada ulat yang menumpuk dan tertindih sehingga mampu mendapatkan pakan dalam
jumlah yang relatif sama dan ulat dapat bebas bergerak untuk mendapatkan
pakannya, dengan begitu ulat dapat tumbuh secara seragam. Apabila ulat tumbuh
dengan seragam , memudahkan dalam penanganan ulat bangun tidur dan pengokonan.
4.2.4 Pemeliharaan ulat kecil
Dalam faktor pendukung kesuksesan pemeliharaan pesuteraan
alam salah satunya dipengaruhi oleh jenis ulat sebanyak 4,2%. Pada saat pemeliharaan
ulat kecil tingkat mortalitas mencapai 20%. Hal tersebut diduga karena proses
sanitasi yang membutuhkan tingkat sterilisasi yang lebih tinggi. Suhu dan
kelembaban pada saat pemeliharaan terlalu tinggi dan terlalu lembab sehingga
udara di kandang terlalu panas untuk ulat.
Menurut Nanang Ahdiat (2010), suhu dan kelembaban rumah
ulat kecil antara 260C dan 80-90%. Akibatnya ulat lebih cepat tidur
dari waktu yang telah ditentukan. Waktu tidur ulat yang lebih cepat tersebut
berpengaruh tehadap usia ulat selama pemeliharaan. Adapun lamanya waktu
pemeliharaan ulat kecil hingga pengokonan selama 21 hari. Lamanya usia ulat
berpengaruh terhadap jumlah pakan yang dibutuhkan. Semakin cepat ulat tidur
semakin sedikit daun yang dimakan. Akhirnya kelenjar sutera yang dihasilkan
juga sedikit, sehingga kokon yang dibuat juga kecil dan tipis.
Metode rajangan daun murbei untuk pakan dibuat persegi
empat agar penebaran pakan merata dan memudahkan ulat makan. Pada saat
pemeliharaan dilakukan pelebaran tempat sebelum pemberian pakan agar ulat dapat
leluasa tumbuh dan menjangkau pakan yang diberikan. Pelebaran tempat juga dapat
mengurangi kehilangan ulat kecil pada saat pemeliharaan karena tidak terlalu
banyak ulat yang tertindih. Waktu pelebaran dilakukan setiap hari mengikuti
perkembangan tubuh ulat. Ketika kotoran dan sisa pakan sudah banyak tempat
segera dibersihkan dengan tujuan agar kelembaban tidak terlalu tinggi dan tidak
menimbulkan bibit penyakit.
4.2.5 Pemeliharaan Ulat Besar
Pada pemeliharaan ulat sutera dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pemeliharaan ulat
kecil dan pemeliharaan ulat besar. Pemeliharaan
juga harus dipisah di tempat yang berbeda dengan jarak minimal 100 m. Disamping itu sebaiknya pemeliharaan ulat
kecil dan ulat besar dilakukan pada waktu yang tidak bersamaan. Hal ini
dilakukan untuk mencegah agar bibit penyakit yang menyerang pada saat ulat
kecil tidak ikut menyerang pada saat ulat besar
Desinfeksi pada tubuh ulat dilakukan dengan cara
menaburkan campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 90 : 10. Desinfeksi
ini dilakukan pada saat ulat tidur dan ketika bangun tidur. Hal ini memudahkan
pada saat ulat berganti kulit. Ketika berganti kulit, kulit yang baru masih
halus dan rentan terkena penyakit sehingga harus didesinfeksi agar tidak mudah
terkena penyakit. Menjelang instar V ketika ulat tidur, desinfeksi dilakukan
agar daun cepat mengering sehingga tempat pemeliharaan tidak lembab karena pada
saat ulat tidur memerlukan kelembaban yang rendah. Selain itu, daun kering juga
akan merangsang ulat cepat tidur karena tidak ada pakan. Perluasan tempat
dilakukan setiap hari sebelum pemberian pakan sesuai pertumbuhan tubuh ulat.
Perluasan ini dilakukan agar ulat dapat tumbuh dengan leluasa, tidak
berdesakkan, tidak tumpang tindih dan pakan yang diberikan dapat merata.
Desnfeksi yang
dilakukan terhadap rumah ulat sebelum pemeliharaan menggunakan larutan formalin saja sehingga
desinfeksi yang dilakukkan kurang maksimal. Hal ini banyak mengundang penyakit.
Terbukti dengan banyaknya ulat sutera yang terkena penyakit Grasserie pada
saat menjelang mengokon. Hal tersebut terjadi diduga karena kurangnya
desinfeksi yang dilakukan sebelum pemelihraan.Ulat yang terkena penyakit ini
tubuhnya menjadi hitam dan lembek. Meskipun ulat yang terserang tidak langsung
mati, tetapi tidak dapat mengokon dan akhirnya mati kemudian membusuk pada saat
pengokonan. Hal ini membuat kokon yang lain ternoda sehingga menyebabkan kokon
tersebut kotor luar. Temperatur rumah ulat besar pada saat pemeliharaan
berkisar antara 24-300C sedangkan kelembaban berkisar antara 69-92%. Temperatur dan kelembaban tersebut terlalu tinggi
dibanding dengan temperatur dan kelembaban ideal. Menurut Nanang Ahdiat (2010),
kelembaban yang ideal yaitu 24-250C dan 75%. Kondisi tersebut
menyebabkan nafsu makan ulat berkurang. Pada kondisi itu ulat akan mudah
terkena penyakit yang pada akhirnya tidak dapat mengokon atau bahkan mati.
Keadaan tersebut berpengaruh terhadap produksi dan kualitas kokon.
Metode pemberian
pakan pada saat pemeliharaan ulat besar instar IV diberikan dengan daun murbei
hasil pipilan. Kelebihan metode ini yaitu lebih mudah dalam melaksanakan
pembersihan tempat pemeliharaan dan tidak ada ulat yang mengokon pada batang
murbei. Selain itu cabang yang tidak terpakai dapat langsung dibuat stek.
Sedangkan kelemahannya adalah daun yang dipipil cepat menguap dan banyak ulat
yang tertutup daun.
Metode pemberian pakan untuk ulat besar pada saat instar
V dilakukan dengan daun beserta cabangnya. Kelebihannya yaitu waktu pemberian
pakan lebih cepat tanpa harus dipipil terlebih dulu. Distribusi pakan bisa
lebih merata dan daun tidak cepat layu. Sedangkan kelemahannya yaitu pada saat
pengokonan banyak ulat yang terlanjur mengokon di percabangan murbei. Hal ini bisa ditangani dengan
pembersihan tempat pemeliharaan secara rutin
Banyaknya jumlah pakan pada saat pemeliharaan juga sangat
berpengaruh terhadap hasil akhir yang diperoleh. Menurut Atmosoedarjo (2000),
pakan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan satu boks dengan populasi 25.000 telur
yaitu 1.304 kg ( instar IV 300 kg dan untuk instar V 945 kg) dengan batang.
Menurut Suprio Guntoro pakan yang dibutuhkan untuk satu kali pemeliharaan tanpa
batang yaitu sekitar 500-600 kg.
Pada saat pemeliharaan ulat besar jumlah pakan yang
diberikan sebanyak 324 kg tanpa cabang. Jumlah tersebut masih kurang dari
jumlah pakan ideal sehingga kelenjar sutera yang dibentuk berkurang. Makin
sedikit pakan, makin sedikit kelenjar yang dihasilkan sehingga pada saat
pengokonan serat yang dikeluarkan lebih sedikit, akhirnya kokon yang dihasilkan
berukuran kecil dan tipis.
4.2.6 Pengokonan
Pengokonan dan panen kokon merupakan langkah-langkah
teakhir dalam pemeliharaan ulat sutera. Bila langkah-langkah ini tidak
dilaksanakan dengan baik maka hal ini dapat berpengaruh buruk terhadap kualitas
filament kokon. Metode yang dilakukan pada saat pengokon untuk dua kali pemeliharaan
yaitu dengan memungut ulat satu per satu dan menyimpan seriframe di atas ulat
yang siap mengokon.
Pemungutan ulat dilakukan karena ulat yang matang sekitar
10%, sedangkan pemasangan seriframe dilakukan karena ulat yang matang mencapai
75%. Kelemahan dengan memungut ulat yaitu waktu yang dibutuhkan lama sedangkan
kelebihannya yaitu ulat yang dikumpulkan dapat mengokon semua di seriframe.
Kelemahan dengan memasang seriframe yaitu ulat yang
belum siap mengokon merayap-rayap
di atas tempat pengokonan sehingga harus
dipisah lagi ke seriframe yang baru. Kelebihannya yaitu cara yang dilakukan
lebih praktis karena mengandalkan reaksi geotropik alami sehingga lebih hemat
tenaga dan hemat waktu. Pada saat pengokonan banyak ulat yang tidak dapat mengokon
secara sempurna hal ini diduga karena ulat terkena penyakit sehingga tidak
mengokon dan juga karena pengaruh suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi
sehingga tidak mampu membuat kokon yang berkualitas.
4.2.7 Panen
Panen yang dilakukan untuk dua kali pemeliharaan yaitu
delapan hari setelah ulat mengokon ketika kondisi pupa sudah mengeras dan
berwarna coklat. Hal ini dilakukan untuk menghindari pecahnya pupa pada waktu
panen dan berubahnya pupa menjadi ngengat. Menurut Suprio Guntoro (1994), panen
untuk kokon segar dari 20.000 ekor ulat dapat mencapai 25-30 kg, sedangkan
hasil yang diperoleh masih dibawah produksi ideal. Produksi kokon sedikit
karena banyak ulat yang mati terkena penyakit. Kokon yang diproduksi setelah
dilakukan pengujian termasuk mutu C menurut SNI.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
·
Pada
saat pemeliharaan ulat sutera faktor iklim dan persiapan pakan mempunyai
peranan penting dalam keberhasilan produksi kokon.
·
Kurangya
desinfeksi rumah dan peralatan yang akan digunakan sebelum pemeliharaan menyebabkan banyaknya ulat
yang terserang penyakit Grasserie.
·
Bobot
kokon segar yang dihasilkan belum mencapai produksi yang optimal.
·
Kualitas
kokon yang dihasilkan masuk kelas C
5.2
Saran
·
Sebelum
pemeliharaan seharusnya persediaan pakan harus dianalisis secara pasti agar
tidak terjadi kekurangan pakan pada saat pemeliharaan ulat besar.
·
Sebelum
dilakukan pemeliharaan, desinfeksi rumah ulat besar dan peralatan harus dilakukan
secara merata dengan konsentrasi yang tepat agar dapat meminimalisir timbulnya
bibit penyakit.
.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosoedarjo, Soekiman
dkk.2000. Sutera Alam Indonesia .
Jakarta .
Ahdiat, Nanang.2010. Bombyx mori Ulat Penghasil Sutera.
Bandung : Sinergi Pustaka Indonesia .
Guntoro, Suprio.1994. Budidaya Ulat Sutera. Yogyakarta : Kanisius.
Anonim.2008.
Budidaya Ulat Sutera dan Produksi Kokon.[Online]. Tersedia: http://masjamal.blogdetik.com/2008/12/31/budidaya-ulat-sutera-dan-produksi-kokon/.
[27 Desember 2012].
Anonim.Berternak
Ulat Sutera. [Online]. Tersedia: http://caraberternak.com/cara- berternak-ulat-sutra/.
[27 Desember 2012].
Endar.2008.
Pengokonan.[Online]. Tersedia: http://pengokonan.blogspot.com/2008/04/pengokonan.html.
Desember 2012]. [28
Anonim.Desinfeksi.[Online].
Tersedia: http://www.agrisilk.com/Budidaya/ulat-sutera/desinfeksi.html.
[28 Desember 2012]